Desak RUU Narkotika Disahkan, Kebijakan Asimilasi Diklaim Turunkan Angka Overcrowded

5 Agustus 2021, 21:39 WIB
High-Level Panel Discussion: Covid-19, Prison Overcrowding, and Their Impact on Indonesia’s Prison System yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bekerja sama dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Kamis 5 Agustus 2021. /KEMENKUMHAM/FOTO: KEMENKUMHAM

PUBLIKTANGGAMUS.COM - Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda Indonesia sejak 2020 memberikan dampak besar dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.

Terlebih saat ini terdapat 268.394 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di dalamnya narapidana, tahanan, dan Anak, padahal kapasitas yang tersedia hanya bagi 132.107 WBP.

Hal ini menjadi topik dalam dalam High-Level Panel Discussion: Covid-19, Prison Overcrowding, and Their Impact on Indonesia’s Prison System yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bekerja sama dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Kamis 5 Agustus 2021.

Baca Juga: Geger Beras Bansos Berkutu, LaNyalla: Cek Kualitas Sebelum Didistribusikan!

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy O.S. Hiariej, menyampaikan bahwa situasi overcrowded yang terjadi di lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi tantangan yang tidak mudah.

Hal ini disebabkan adanya tuntutan untuk menjaga jarak sebagai bagian dari upaya pencegahan penularan, namun kondisi overcrowded terjadi. Untuk itu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengeluarkan kebijakan untuk ‘merumahkan’ narapidana yang patut diapresiasi.

”Pada awal terjadi Covid-19 kurang lebih ada 30.000 narapidana yang ‘dirumahkan’ melalui proses Asimilasi maupun Pembebasan Bersyarat dan ini adalah kebijakan yang reasonable dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Eddy.

Baca Juga: Program Program Bedah Rumah Menuai Kritik dari Politisi, Ini Jawaban Bupati Tanggamus

Terkait kondisi overcrowding, Eddy menegaskan bahwa lapas hanya bersifat menerima putusan pengadilan dan tidak dapat melakukan intervensi dalam sistem peradilan pidana.

Menurutnya mengatasi overcrowding tidak cuup dengan membangun lapas namun lebih merujuk pada perubahan paradigma hukum pidana yang dianut aparat penegak hukum. Terlebih mayoritas penghuni terjerat kasus narkotika.

”Mengapa terjadi overcrowding tidak lepas dari paradigma hukum pidana yang masih dianut yang melihat hukum pidana hanya pada keadilan retributif,” terang Eddy yang dipertegas dalam siaran persyang diterima Publiktanggamus.com

Baca Juga: Komitmen Lawan Narkoba, 19 Narapidana Dipindah ke Nusakambangan

Padahal, sejak 1990 sudah ada perubahan paradigma hukum pidana modern yang tidak hanya berorientasi pada keadilan retributif atau pembalasan, tetapi keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif.

Untuk itu ia juga mendesak untuk disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Narkotika, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan RUU Pemasyarakatan dalam mengatasi overcrowded.

Menurutnya dalam RUU KUHP terdapat pemindaan lain seperti denda, pengawasan, percobaan, dan kerja sosial yang lebihi diutamakan serta dalam RUU Pemasyarakatan lapas tidak lagi sebagai tempat pebuangan akhir, namun terlibat sejak awal dalam proses adjudikasi.

Baca Juga: Puan Maharani Komentari BSU: Bantuan untuk Pekerja Tidak Boleh Molor!

Sementara itu Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga, mengungkapkan saat ini 50,9% penghuni lapas dan rumah tahanan negara (rutan) berasal dari tindak pidana narkotika dengan rincian tahanan sebanyak 24.808 orang.

Selanjutnya masa pidana kurang dari lima tahun sebanyak 25.590 orang, masa pidana antara lima sampai dengan 9 tahun sebanyak 73.023, dan masa pidana lebih dari 10 tahun sebanyak 13.234.

”Sebenarnya hukum di kita ini apakah harus pemenjaraan? Atau juga berbicara mesehatan? Mengapa ada pertanyaan demikian karena dominasi penghuni di lapas/rutan adalah narkotika. Kasus narkotika lebih kepada pemenjaraan yang dilaksanaan pada saat ini dan yang lalu,” papar Reynhard.

Baca Juga: LaNyalla Singgung Pernyataan Joe Biden Soal Jakarta Tenggelam

Kondisi tersebut menyebabkan overcrowded di lapas/rutan yang menyebabkan berbagai pemasalahan. Menurutnya kondisi overcrowded juga meningkatkan kerentanan penularan penyakit khususnya Covid-19. Ia mengungkapkan hingga saat ini terdapat 9.356 kasus terkonfirmasi dimana 7.419 diantaranya sembuh.

Penularan tidak dapat dihindari meskipun banyak upaya yang kita lakukan seperti larangan kunjungan secara langsung, namun ada potensi dari petugas yang pulang ke rumah dan kondisi di dalam berhimpit-himpitan.

”Namun meskipun banyak yang terpapar sebagian besar dapat sembuh dengan adanya koordinasi dengan dinas Kesehatan, penerapan protokol keseharan, rujukan ke rumah sakit bahkan pemisahan blok,” ungkap Reynhard.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Belum Berakhir, Bahtiar: Kerukunan Umat Harus Terus Dirawat

Kebijakan pemberian hak Asimilasi dan Integrasi melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 10 Tahun 2020, Permenkumham Nomor 32 Tahun 2020.

Termasuk Permenkumham Nomor 24 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Penanggulangan Covid-19 berkontribusi menurunkan tingkat overcrowded.

Tentu ada syarat-syarat tertentu seperti telah melewati setengah masa pidana dan dalam Permenkumham terbaru lebih rigid lagi seperti pengecualian bagi tindak pidana terkait PP 99/2012, pembunuhan, pencurian dengan kekerasan, kesusilaan dan kesusilaan terhadap anak sebagai korban.

Baca Juga: Ajak Si Bungsu Krisdayanti Pamit Pulang, Bersitegang Lagi dengan Aurel?

”Lebih dirinci dari aturan sebelumnya agar pengulangan tindak pidana tidak terjadi lagi,” ujar Reynhard.

UNODC Country Manager and Liaison to ASEAN, Collie F. Brown, mengungkapkan bahwa secara global pandemic Covid-19 telah mempengaruhi 11 juta tahanan di seluruh dunia. Bahkan diperkirakan lebih dari 527.000 tahanan di 122 negara telah terinfeksi Covid-19 dengan 3.000 kematian di 47 negara.

”Angka ini menunjukkan risiko Kesehatan yang dihadapi narapidana selama pandemi dimana seringkali ruang terbatas dan tidak dapat menjaga jarak serta menjadi tantangan bagi sistem pemasyarakatan. Sehingga dilakukan pembebasan sejumlah besar tahanan,” papar Brown.

Baca Juga: Dinar Candy Ditetapkan Tersangka, Polisi: Tak Dilakukan Penahanan

Terkait pengeluaran narapidana di Indonesia dalam upaya pengurangan penularan Covid-19, Brown menyatakan bahwa hal tersebut hanyalah solusi sementara dari permasalahan jangka panjang.

Perubahan institusional dan sistem untuk jangka panjang yang berkelanjutan diperlukan untuk memperkuat sistem peradilan pidana untuk membatasi arus orang masuk ke dalam lapas dan membatasi dampak pandemi dan krisis Kesehatan lainnya.

Meski demikian, Brown memberikan apresiasi atas usaha yang dilakukan oleh pemasyarakatan dalam pengeluaran pidana.

 

Baca Juga: Waspada Hoaks Info Bantuan Kuota Internet, Nadiem: Hanya Ada Satu Situs

”Saya menyampaikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan karena telah melakukan beberapa intervensi yang tentunya telah berkontribusi dalam mitigasi penyebaran Covid-19 di lapas-lapas di Indonesia,” tutup Brown.

Webinar tersebut juga menghadirkan keynote speaker antara lain Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Suharso Monoarfa, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy O.S. Hiariej.

Lalu UNODC Division for Operations Director Miwa Kato, UNODC Country Manager and Liaison to ASEAN Collie F. Brown, dengan pembicara Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Silitonga dan Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Rolliansyah Soemirat. ***

 

 

Editor: Syaiful Amri

Sumber: Kemenkum HAM

Tags

Terkini

Terpopuler