Hijrah Harus Dimaknai Sebagai Upaya Meninggalkan Kebiadaban Menuju Keberadaban

- 13 Agustus 2021, 19:57 WIB
Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia.
Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia. /Humas BNPT

PUBLIKTANGGGAMUS.COM - Umat Muslim di seluruh dunia baru saja memperingati Tahun Baru 1 Muharram 1443 Hijriyah yang jatuh pada Selasa, 10 Agustus 2021 kemarin.
Peringatan Tahun Baru 1 Muharram ini dimaknai peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah.

Semangat hijrah yang ingin dicapai tentunya bukan hanya mobilitas fisik melalui perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, tetapi transformasi sosial dan kultural umat dari kejelekan, perpecahan, dan konflik menuju kepada kebaikan, persatuan dan harmoni.

"Hijrah itu harus dimaknai sebagai upaya meninggalkan kebiadaban menuju keberadaban yang lebih baik," ujar Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia dalam keterangan yang diterima PUBLIKTANGGAMUS.COm, Jumat, 13 Agustus 2021.

"Sebagai makhluk terbaik yang diciptakan Allah SWT sebagai khilafah di bumi, prinsip hijrah adalah tentang membangun sebuah kehidupan yang berkeadaban yaitu kehidupan dengan ciri-ciri masyarakatnya menghargai sesama manusia,"

"Jadi yang ingin kita petik dari makna hijrah ini adalah kemanusiaan. Bagaimana kita memperkuat rasa kemanusiaan kita ditengah kondisi pandemi Covid-19 seperti ini," imbuhnya.

Menurut Musdah, rasa kemanusiaan ini bisa terbangun melalui empati, menolong antar sesama dan tidak membeda-bedakan ras, agama, maupun warna kulit.

Bahkan dalam konteks Indonesia hal ini tertuang dalam Pancasila yakni sila ke-2, 'Kemanusiaan yang adil dan beradab'.

"Dengan kesadaran seperti itu, maka semangat kebersamaan kita dalam menghadapi problem kebangsaan ini bisa terbangun. Di era pandemi seperti ini kita harus mengedepankan kemanusiaan kita, kita membantu siapapun. Dalam kemanusiaan kita adalah satu," ungkapnya.

Bahkan dengan tegas aktivis perempuan kelahiran Bone 3, Maret 1958 ini mengkritisi sisi kemanusiaan yang baru-baru ini ditunjukkan oleh para aktor politik di ruang publik melalui baliho-baliho kampanye yang juga menuai kekecewaan masyarakat.

Halaman:

Editor: Armanugi Saputra


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah